Oleh: Sumardi
(Praktisi Manajemen SDM Aparatur dan Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Jakarta)
Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh dan Birokrasi Kelas Dunia adalah tagline yang sering kita temui pada spanduk atapun baliho di berbagai sudut jalan di seantero negeri ini. Hal senada juga dengan mudah kita temui dalam bentuk banner di kantor-kantor pemerintah yang adem dan mentereng ataupun dalam berbagai seminar, diskusi melalui aplikasi meeting zoom.
Kitapun terlalu sering mendengar jargon indah tersebut dalam pidato para petinggi negeri ini ataupun para pejabat di daerah. Namun apa yang sesungguhnya yang terjadi di ranah realita saat ini?
Apakah tindakan dalam kancah birokrasi para pejabat pemerintah di Pusat maupun pejabat di daerah korelatif dengan jargon di atas?
Nampaknya jauh panggang dari api sebagaimana si emak-emak naik motor yang mau belok ke kanan tetapi lampu sign-nya mengarah ke kiri. Nampaknya negeri ini surplus dengan mimpi namun sayang sekali miskin dengan realisasi.
Kalau bangsa ini menginginkan Indonesia Tangguh, Indonesia tumbuh dan birokrasi kelas dunia seharusnya para elit pusat dan daerah tidak melakukan tindakan yang kontra produktif terhadap upaya untuk merealisasikan cita-cita mulia tersebut. Kebijakan, kekuatan, dan sumber daya yang ada juga seharusnya di fokuskan untuk mencapai tujuan atau sasaran ke arah tersebut. Kita semua tentunya faham bahwa tidak ada negara maju di dunia ini yang birokrasinya lemah.
Dengan kata lain negara maju selalu ditopang oleh birokrasi yang professional dan kuat. Meritokrasi selalu menjadi pijakannya bukan malah menginjak-injak Sistem Meritokrasi. Contoh memberi bukti bahwa negara-negara yang sumber daya alamnya relatif tidak berlimpah namun dengan dukungan SDM yang professional dan kuat mampu menorehkan berbagai kemajuan dan prestasi hebat yang diakui oleh negara-negara lainnya. “The man behind the gun” adalah benar adanya dan tidak perlu diragukan lagi.
Sebuah drama tata kelola birokrasi di berbagai daerah sampai dengan hari ini nampak jelas memperkuat keyakinan penulis bahwa betapa kita masih tidur belum terbangun dari mimpi untuk menjadikan birokrasi kelas dunia. Hari-hari terakhir ini bangsa ini disibukkan dengan banyaknya Kepala Daerah yang memberhentikan para Kepala Dinas/Kepala Badan/Inspektur/Kepala Kantor serta para pejabat di bawahnya tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Bahkan kalau ditelisik lebih jauh lagi banyak diantaranya Kepala Daerah yang tidak mampu menjawab mengapa terjadi pemecatan. Alih-alih karena alasan kompetensi, kinerja dan kualifikasi, sangat mungkin istilah kompetensi itupun banyak diantaranya yang tidak mampu dipahaminya secara utuh sehingga yang terjadi adalah “pasal pokok-e” atau “pasal aku maunya dia diganti dengan pejabat lain”.
Baca juga:
Pledoi Pawang Hujan Mandalika
|
Tidak aneh jika sampai dengan hari ini masih banyak sekali keluhan dari daerah mengenai penempatan pejabat yang jauh dari kompetensinya. Jabatan Inspektur diisi oleh seorang dokter, jabatan Camat diisi oleh seorang guru, jabatan Kepala Badan Pengelola Keuangan diisi oleh sarjana pertambangan, dan lainnya.
Tatanan birokrasi diabaikan dalam rangka memenuhi hajat elit daerah atas janji yang telah terucap, balas jasa atas dukungan yang telah diberikannya bahkan balas dendam karena PNS tersebut tidak mendukungnya. Di kalangan PNS di daerah sering terjadi guyonan “birokrat itu tidak perlu pinter yang diperlukan adalah yang pinter-pinter” sehingga akhirnya banyak yang menggunakan “cara lain” atau “memasang kakinya dimana-mana” bahkan “sembunyi di tempat ramai dan terang”.
Anekdot lain di birokrasi juga dikenal istilah lucu yaitu “kelas akselerasi” layaknya program percepatan di SMP atau SMA unggulan pada zamannya. Pegawai Negeri Sipil yang bisa masuk kelas ini tentunnya harus mempunyai “modal” minimal “modal spanduk” sehingga bisa dengan cepat dapat menjadi seorang pejabat di daerah. Oleh karena itu “Pasar imajiner jabatan” sebagaimana tulisan saya sebelumnya sampai dengan saat ini terbukti masih terus berlangsung.
Penulis yakin bahwa pasar imajiner jabatan itu akan terus-menerus berlangsung selama tidak ada perubahan signifikan terkait dengan wewenang Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Lalu apa dan siapa sebenarnya pangkal permasalahan ini ? Penulis mencoba melakukan analisis sederhana bahwa Kepala Daerah salah satunya mempunyai wewenang sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian.
Wewenang PPK itu adalah berkaitan dengan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan PNS di wilayahnya kecuali untuk Pejabat Eselon I dan Pejabat Fungsional Utama. Wewenang ini sangat sakti bagaikan Malaikat Izroil pencabut nyawa bagi PNS di daerah.
Bagi PPK yang tidak mengindahkan peraturan maka kapanpun bisa melakukan pemecatan dari jabatan terhadap seorang PNS, memindahkan dari “jabatan basah” ke “jabatan kering” atau memutasi PNS dari “jabatan mata air” dipindahkan ke “jabatan air mata” atau memindahkan PNS dari satu tempat ke tempat lain yang letaknya terpencil. Wewenang ini jika dimanfaatkan tentunya akan menghasilkan dana yang tidak sedikit jumlahnya.
Pada sisi lain kita semua faham bahwa untuk menjadi seorang Kepala Daerah wajib hukumnya melalui jalur kontestasi yang bernama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hajatan pilkada sangat menguras energi dan finansial mulai dari sejak “mencari perahu partai”, sosialisasi, penggalangan/kampanye sampai dengan pengawalan di bilik suara. Bahkan jika putusan atas pemungutan suara dianggap tidak tepat akan berlanjut pada gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Semua itu memerlukan pendanaan yang tidak sedikit jumlahnya.
Pada sisi yang lain lagi bahwa penghasilan resmi seorang Kepala Daerah secara matematis tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti kontestasi politik tersebut. Oleh karena itu seakan menjadi pembenaran bahwa dana yang telah dikeluarkan dalam pilkada harus segera kembali dalam masa lima tahun jabatannya.
Nah, menjadi masuk akal jika salah satu wewenang yang dapat dimanfaatkan oleh Kepala Daerah untuk mendapatkan uang adalah wewenang sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Benar atau tidak apakah Pilkada menjadi penyebab rusaknya birokrasi di daerah perlu dibuktikan oleh teman-teman yang tertarik untuk meneliti permasalahan ini. Wallahu a’lam bish-shawabi (Allah lebih tahu yang benar/yang sebenarnya).